(Fiqih Muyassar #3) Macam-Macam Najis dan Cara Mensucikannya dalam Islam

Fikih Muyassar tentang Najis

Dalam ajaran Islam, kesucian (thaharah) merupakan bagian penting dari ibadah, terutama dalam shalat. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib memahami najis serta cara mensucikannya. Dalam fikih, najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor dan menghalangi kesucian seseorang dalam beribadah.

Definisi Najis dan Hukumnya

Najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor dalam syariat dan harus dibersihkan sebelum melakukan ibadah seperti shalat. Seseorang yang terkena najis wajib mensucikannya agar ibadahnya sah.

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)

Pembagian Najis

Dalam fikih Islam, najis terbagi menjadi tiga jenis utama:

1. Najis Ringan (Najis Mukhaffafah)

Najis ini adalah najis yang tingkatannya lebih ringan dibandingkan lainnya, dan cara mensucikannya juga lebih mudah.

Contoh:

Air kencing bayi laki-laki yang hanya mengonsumsi ASI.

Cara Mensucikan:

  • Cukup dipercikkan air ke bagian yang terkena najis tanpa perlu menggosoknya.

Dalil:

Dari Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu ‘anha:

"Rasulullah ﷺ didatangkan dengan bayi laki-laki yang belum makan apa pun selain ASI. Beliau kemudian meletakkannya di pangkuan, lalu bayi itu kencing. Beliau hanya menyiramnya dengan air dan tidak mencucinya." (HR. Bukhari: 223, Muslim: 287)

2. Najis Sedang (Najis Mutawassithah)

Najis ini berada di tingkat pertengahan dan mencakup mayoritas benda najis.

Contoh:

  • Air kencing dan kotoran manusia.
  • Darah dan nanah.
  • Muntah.
  • Bangkai (kecuali ikan dan belalang).
  • Air liur dan kotoran hewan yang tidak halal dimakan.

Cara Mensucikan:

  • Dicuci dengan air hingga hilang warna, bau, dan rasanya.
  • Jika najis masih tersisa, maka wajib mengulang pencucian hingga bersih.

Dalil: 

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ اْلأَذَى، فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ، وَفِي لَفْظٍ: إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ اْلأَذَى بِخُفَّيْهِ فَطَهُوْرُهُمَا التُّرَابُ

"Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka hendaklah ia menyucikannya dengan tanah." (HR. Abu Dawud: 385, Ahmad: 1498)

3. Najis Berat (Najis Mughalazhah)

Najis ini dianggap paling berat dalam Islam, sehingga cara mensucikannya pun lebih ketat.

Contoh:

  • Air liur dan jilatan anjing.
  • Babi dan seluruh bagian tubuhnya.

Cara Mensucikan:

  • Dibasuh sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah atau debu.

Dalil:

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ

"Jika anjing menjilat salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 280).


Cara Mensucikan Najis Secara Umum

Islam telah memberikan panduan jelas dalam membersihkan najis. Berikut cara umumnya:

  1. Najis yang memiliki zat (warna, bau, rasa): Hilangkan terlebih dahulu zat najisnya sebelum dicuci.
  2. Najis yang tidak tampak jelas: Cukup dicuci hingga diyakini bersih.
  3. Najis yang sulit hilang sepenuhnya: Dimaafkan jika sudah berusaha maksimal.

"Ketika seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ bertanya tentang darah haid yang terkena pakaian, beliau bersabda: 

تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

'Dikerik, kemudian disiram dengan air (diguyur dikit-dikit), kemudian kamu cuci, kamudian kamu shalat dengan menggunakan baju tersebut'" (HR. Muslim)


Kesimpulan

  • Najis ringan: Seperti kencing bayi laki-laki yang hanya minum ASI, cukup dipercikkan air.
  • Najis sedang: Seperti darah dan air kencing, dibersihkan dengan air hingga hilang zatnya.
  • Najis berat: Seperti jilatan anjing, dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.

Menjaga kebersihan dari najis adalah bagian dari ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dan menambah pemahaman kita tentang thaharah. Bagikan artikel ini agar lebih banyak orang mengetahui ilmu fikih dengan benar!

Abu Muslim Ahmad

“Sederhana dalam (menjalankan) As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam (melakukan) bid’ah.” Al-Ibanah 1/320 no. 161

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال